Lembar fakta yang diterbitkan Perkumpulan Keluarga Berencana Indonesia (PKBI), United Nations Population Fund (UNFPA) dan Badan Koordinasi Keluarga Berencana Nasional (BKKBN) menyebutkan 15 % remaja usia 10–24 tahun yang jumlahnya mencapai sekitar 62 juta diperkirakan telah melakukan hubungan seksual di luar nikah.
Pada tahun 2008 di Jakarta, dari 405 kehamilan yang tidak direncanakan, 95 persennya dilakukan oleh remaja usia 15-25 tahun. Angka kejadian aborsi di Indonesia mencapai 2,5 juta kasus, 1,5 juta diantaranya dilakukan oleh remaja. Polling yang dilakukan di Bandung menunjukkan, 20 persen dari 1.000 remaja yang masuk dalam polling pernah melakukan, seks bebas. Diperkirakan 5-7 persennya adalah remaja di pedesaan.
Sebagai catatan, jumlah remaja di Kabupaten Bandung sekitar 765.762. Berarti, bisa diperkirakan jumlah remaja yang melakukan seks bebas sekitar 38-53 ribu. Kemudian, sebanyak 200 remaja putri melakukan seks bebas, setengahnya kedapatan hamil. Dan 90 persen dari jumlah itu melakukan aborsi.
Kondisi itu tidak hanya memprihatinkan karena mencerminkan lemahnya penerapan ajaran agama dan melunturnya norma masyarakat namun juga mengkhawatirkan mengingat perilaku tersebut berpotensi menimbulkan gangguan kesehatan reproduksi pada remaja yang bersangkutan
Dunia remaja merupakan suatu tahap yang kritikal didalam kehidupan manusia, yaitu peralihan dari dunia anak-anak menuju ke dunia dewasa. Di tahapan ini seseorang memulai untuk mencari identitas dan penampilan diri. Bahkan pakar psikologi mengistilahkan dunia remaja sebagai “emotional age” (umur emosi). Tetapi faktor yang bisa mempengaruhi moral remaja juga akan mempengaruhi ketika dia menginjak dewasa. Berikut ini beberapa faktor yang dapat menurunkan moral dikalangan para remaja:
A. Kurangnya perhatian dan pendidikan agama oleh keluarga
Orang tua adalah tokoh percontohan oleh anak-anak termasuk didalam aspek kehidupan sehari-hari tetapi didalam soal keagamaan hal itu seakan-akan terabaikan. Sehingga akan lahir generasi baru yang bertindak tidak sesuai ajaran agama dan bersikap materialistik.
B. Pengaruh lingkungan yang tidak baik
Kebanyakan remaja yang tinggal di kota besar menjalankan kehidupan yang individualistik dan materialistik. Sehingga kadang kala didalam mengejar kemewahan tersebut mereka sanggup berbuat apa saja tanpa menghiraukan hal itu bertentangan dengan agama atau tidak, baik atau buruk.
C. Tekanan psikologi yang dialami remaja
Beberapa remaja mengalami tekanan psikologi ketika di rumah diakibarkan adanya perceraian atau pertengkaran orang tua yang menyebabkan si anak tidak betah di rumah dan menyebabkan dia mencari pelampiasan.
D. Gagal dalam studi/pendidikan
Remaja yang gagal dalam pendidikan atau tidak mendapat pendidikan, mempunyai waktu senggang yang banyak, jika waktu itu tidak dimanfaatkan sebaik-baiknya, bisa menjadi hal yang buruk ketika dia berkenalan dengan hal-hal yang tidak baik untuk mengisi kekosongan waktunya.
E. Peranan Media Massa
Remaja adalah kelompok atau golongan yang mudah dipengaruhi, karena remaja sedang mencari identitas diri sehingga mereka dengan mudah untuk meniru atau mencontoh apa yang dia lihat, seperti pada film atau berita yang sifatnya kekerasan, dan sebagainya.
F. Perkembangan teknologi modern
Dengan perkembangan teknologi modern saat ini seperti mengakses informasi dengan cepat, mudah dan tanpa batas juga memudahkan remaja untuk mendapatkan hiburan yang tidak sesuai dengan mereka.
Konsekuensi perilaku seks pranikah adalah kasus Kehamilan Tidak Diinginkan (KTD) pada usia dini, praktik aborsi illegal yang tidak aman dan penularan penyakit menular seksual seperti infeksi virus dan sindroma merapuhnya kekebalan tubuh (HIV/AIDS). PKBI-UNFPA-BKKBN seperti dilansir Antara menyebutkan, setiap tahun 15 juta remaja berusia 15 – 19 tahun melahirkan dan 20 persen dari sekitar 2,3 juta kasus aborsi di Indonesia dilakukan oleh remaja. (Hupelita, 2007).
Tidak semua kehamilan dikehendaki, terutama kalau itu terjadi pada remaja yang masih sekolah (SMP, SMA) . Disebutkan bahwa di Afrika dan Amerika Latin, 20 – 60 % dari kehamilan pada remaja di bawah 20 tahun adalah tidak dikehendaki (Kompas, 4 Maret 2001). Mengapa remaja lebih sering mengalami kehamilan tidak dikehendaki (KTD) ? Jawabannya akan sangat klise, “ Karena tidak siap !”. Secara fisik, remaja sedang mengalami perkembangan tubuh sehingga belum sampai pada kondisi ‘puncak’ siap untuk melahirkan. Data menyebutkan bahwa risiko kematian pada perempuan yang hamil dan melahirkan pada usia dibawah 20 tahun, 2 sampai 5 kali lebih besar daripada mereka yang berusia 20–29 tahun. Sementara secara psikis, belum siap mental menjadi ortu, karena remaja sedang dalam proses ‘sibuk dengan dirinya sendiri’, lalu bagaimana harus member perhatian optimal pada anak ? Kalau secara ekonomi, kayaknya cukup jelas, remaja yang masih sekolah sebagian besar belum mandiri, bahkan sering memperpanjang masa disokong ortu sampai lulus SMA atau kuliah (Utamadi, 2007).
Setelah membaca semua paparan diatas akan suatu pertanyaan yang timbul dalam benak kita, “ apa itu KTD (kehamilan yang tidak diinginkan)”. Untuk menjawab itu akan dibahas lebih lanjut mengenai Kehamilan Tidak Diinginkan.
Definisi KTD
KTD (kehamilan tidak diinginkan) adalah suatu kondisi pasangan yang tidak menghendaki adanya kehamilan yang merupakan akibat dari suatu perilaku seksual (HUS) baik secara sengaja maupun tidak sengaja. Kondisi tersebut dapat menimpa siapa saja, baik yang sudah menikah maupun belum, baik remaja, pasangan muda, ibu – ibu setengah baya, dan dari golongan mana pun (Ma’ shum, 2002).
PRAM (Pregnancy Risk Assesment Monitoring System) yang diadakan di Maryland mendefinisikan KTD atau kehamilan tidak diinginkan (Unintended Pregnancy) dalam dua katagori besar yakni kehamilan yang diinginkan munculnya di waktu yang akan datang (Unwanted Pregnancy) jadi kehamilan yang tidak diinginkan adalah kehamilan yang tidak tepat waktunya atau tidak diinginkan kehadirannya oleh pasangan. Unwantedness merefleksikan niat atau keinginan seorang wanita (dan pasangannya) setelah keduanya memiliki semua anak yang telah diinginkan. Mistimed pregnancy , adalah kehamilan pada saat yang tidak tepat, dapat terjadi sepanjang waktu reproduksi tetapi paling sering pada remaja dan dewasa muda. Hasil penelitian yang dilakukan di Maryland pada kehamilan yang terjadi tahun 2001–2005 diketahui bahwa 58 % dari seluruh kehamilan adalah diinginkan dan 42 % merupakan kehamilan yang tidak diinginkan yang terdiri dari Mistiming Pregnancy (31 %) dan Unwanted Pregnancy (11 %).
KTD tidak selalu terjadi pada remaja atau pasangan yang belum menikah ada sebagian yang pasangan yang sudah secara resmi secara menikah juga mengalaminya. Tidak semua kehamilan disambut baik kehadirannya. Badan Kesehatan Dunia (WHO) memperkirakan dari 200 juta kehamilan per tahun; 38 % diantaranya merupakan kehamilan yang tidak diinginkan, hal itu umumnya terjadi karena gagal kontrasepsi dan alas an tertinggi untuk menghentikan kehamilan adalah alas an psikososial (karena terlalu banyak anak, anak bungsu masih terlalui kecil, takut karena kekerasan dalam rumah tangga, takut pada orangtua atau pada masyarakat).
Sebenarnya KTD bukan hal yang baru, namun saat ini seakan – akan menjadi berita baru karena jumlah kasus yang ‘mulai’ terungkap di permukaan kian besar, ditambah lagi kasus – kasus perkosaan yang menimpa remaja akhir – akhir ini kian memprihatinkan (Tito, 2003).
Yang menarik studi terbaru Utomo dkk (2001) memperkirakan aborsi per tahun adalah 2 juta atau 43 % dari kehamilan. Dari riset YKP tahun 2002 pada sejumlah klinik dan rumah sakit di 9 kota besar Indonesia menunjukkan dari 1.446 perempuan dengan KTD (Kehamilan Tidak Diinginkan) adalah sekitar 87,1 % berstatus menikah.
Sebab KTD
Kehamilan Tidak Diinginkan (KTD) banyak terjadi karena pola hubungan suami- istri tidak seimbang, yang mengakibatkan hubungan seksual sebagai awal terjadinya kehamilan seringkali dipahami sebagai kewajiban (agama) istri saja. Istri diposisikan untuk melayani suami kapan saja sementara akibat dari hubungan ini bila terjadi kehamilan hanya istri seorang yang menanggung. Selain terjadi pada remaja, KTD justru banyak dialami oleh ibu – ibu dengan keluarga harmonis.
Alasan – alasan tersebut dapat disebabkan oleh beberapa hal :
A. Pemahaman/pengetahuan tentang proses terjadinya kehamilan sangat minim.
Kebanyakan orang hanya tahu bahwa hubungan seks akan membuat perempuan hamil, tanpa mengetahui dengan rinci proses terjadinya menstruasi dan kehamilan yang benar dan lengkap.
B. Pemahaman/pengetahuan tentang kontrasepsi yang masih rendah.,
Dalam kasus ini kebanyakan pengguna kontrasepsi masih banyak yang belum paham tentang cara memakainya dengan benar, efek samping yang dapat ditimbulkan, dan bagaimana jika terjadi efek samping.
Nasib Remaja Putri
Nilai-nilai patriarkhis yang berurat akar di masyarakat kita telah meletakkan remaja putri jauh di luar jarak pandang kita dalam kesehatan reproduksi. Undang-undang no. 20/1992 mentabukan pula pemberian layanan KB untuk remaja putri yang belum menikah.
Bahkan terdapat mitos yang memojokkan remaja putri, untuk membujuk-paksa mereka supaya bersedia berhubungan seks secara "suka-sama-suka", bahwa hubungan seks yang hanya dilakukan sekali takkan menyebabkan kehamilan. Berbagai metode kontrasepsi "fiktif" juga beredar luas di kalangan remaja.
Ketika pencegahan gagal dan berujung pada kehamilan, lagi-lagi remaja putri yang harus bertanggung jawab. Memilih untuk menjalani kehamilan dini seperti dilakukan 9,5% remaja di bawah 20 tahun , dengan risiko kemungkinan kematian ibu pada saat melahirkan 28% lebih tinggi dibanding yang berusia 20 tahun ke atas, disertai kegamangan karena tak siap menghadapi peran baru sebagai ibu. Atau menjalani pilihan lain yang tersedia, yaitu aborsi!
Penyebab Kehamilan yang tidak diinginkan
A. Penundaan dan peningkatan jarak usia nikah dan semakin dininya usia menstruasi pertama ( menarche ). Usia menstruasi yang semakin dini dan usia kawin yang semakin tinggi menyebabkan ‘ masa – masa rawan semakin panjang. Hal ini terbukti dengan banyaknya kasus hamil di luar nikah.
B. Kondisi kesehatan ibu yang tidak mengizinkannya untuk hamil. Bila kehamilannya diteruskan, maka dapat membahayakan keselamatan ibu dan bayinya.
C. Ketidaktahuan atau minimnya pengetahuan tentang perilaku seksual yang dapat menyebabkan kehamilan. Dan banyak mitos yang dipercaya oleh para remaja yang belum ada penjelasan medisnya.
1. Satu kali sexual intercourse tidak akan hamil
2. Sesudah sexual intercourse vagina dicuci dengan minuman berkarbonasi
3. Loncat – loncat sesudah sexual intercourse agar tidak terjadi pembuahan
4. Minum pil tuntas untuk menggugurkan kehamilan
5. Tidak tahu apa itu sexual intercourse (utamadi, 2007)
D. Adanya keadaan sosial yang tidak memungkinkan (misal ; incest)
E. Tidak menggunakan alat kontrasepsi selama melakukan hubungan seksual. (Harga yang terlalu mahal, stok terbatas, tidak tahu guna dan keberadaannya)
F. Kegagalan alat kontrasepsi (kerusakan fisis, atau kesalahan teknis).
Untuk kasus remaja akibat mereka menggunakan alat kontrasepsi tanpa disertai pengetahuan yang cukup tentang metode kontrasepsi yang benar.
G. Akibat pemerkosaan,
H. Dalam lingkungan yang tidak mengijinkan untuk terjadinya kehamilan (misal; sekolah, training).
Kehamilan yang tidak diinginkan (KTD) akan menjadi masalah bila terjadi pada remaja yang belum menikah, dari penelitian yang dilakukan Novalinda dkk pad tahun 2004 di Yogyakarta didapatkan ada pengaruh yang signifikan terjadinya KTD pada fleksibilitas keluarga yang rendah, pengetahuan tentang kehamilan yang kurang dan tempat tinggal remaja.
Dampak KTD
Remaja dimungkinkan untuk menikah pada usia dibawah 20 tahun sesuai dengan Undang–undang Perkawinan No. 1 Tahun 1979 bahwa usia minimal menikah bagi perempuan adalah 16 tahun dan bagi laki–laki 18 tahun.
Badan Koordinasi Keluarga Berencana sedang gencar-gencarnya menyosiali- sasikan usia perkawinan bagi seorang wanita sebaiknya minimal 20 tahun,karena berdasarkan data yang dimiliki Badan Koordinasi Keluarga Berencana Nasional (BKKBN), 25% penduduk Indonesia menikah dini.
Idealnya, usia perempuan yang siap menikah adalah 20 tahun,sedangkan untuk laki-laki 25 tahun. Data dari Survei Demografi dan Kesehatan Indonesia (SDKI) 2007 menyebutkan, jumlah kasus pernikahan dini mencapai 50 juta penduduk dengan ratarata usia perkawinan 19 tahun.
Tingginya angka pernikahan dini di Indonesia antara lain dipengaruhi budaya masyarakat yang menganggap seorang perempuan telah siap menikah setelah memperoleh menstruasi pertama.Bahkan,ada pula anggapan bila seorang perempuan yang tidak segera menikah setelah memasuki usia 16 tahun merupakan aib keluarga.
Bagi keluarga miskin, perkawinan dini merupakan suatu kesempatan untuk melepaskan tanggung jawab keluarga terhadap anak perempuan-nya dan akan menjadi tambahan tenaga pencari nafkah bagi keluarga. Dari berbagai studi yang dilakukan, ternyata tingkat pengetahuan masyarakat,baik orang tua,anak,bahkan bidan maupun petugas kesehatan lapangan, terhadap kesehatan reproduksi masih sangat rendah. Perlu diingat beberapa hal sebagai berikut tentang kerugian dan bahaya KTD pada remaja.
A. Karena remaja atau calon ibu merasa tidak ingin dan tidak siap untuk hamil maka ia bisa saja tidak mengurus dengan baik kehamilannya. Yang seharusnya ia mengkonsumsi minuman, makanan, vitamin yang bermanfaat bagi pertumbuhan janin dan bayi nantinya bisa saja hal tersebut tidak dilakukannya. Begitu pula ia bisa menghindari kewajiban untuk melakukan pemeriksaan teratur pada bidan atau dokter. Dengan sikap – sikap tersebut di atas sulit dijamin adanya kualitas kesehatan bayi yang baik.
B. Ibu muda pada waktu hamil sering mengalami ketidakteraturan tekanan darah yang dapat berdampak pada keracunan kehamilan serta kekejangan yang berakibat pada kematian.
C. Penelitian juga memperlihatkan bahwa kehamilan usia muda ( dibawah 20 tahun ) seringkali berkaitan dengan munculnya kanker rahim. Ini erat kaitannya dengan belum sempurnanya perkembangan dinding rahim.
D. Sulit mengharapkan adanya perasaan kasih sayang yang tulus dan kuat dari ibu yang mengalami KTD terhadap bayi yang dilahirkannya nanti. Sehingga masa depan anak mungkin saja terlantar.
E. Tekanan lingkungan bisa terjadi pada remaja.
F. Putus sekolah.
G. Mengakhiri kehamilannya atau sering disebut sebagai aborsi.
Di Indonesia aborsi dikatagorikan sebagai tindakan illegal atau melawan hukum. Karena tindakan aborsi adalah illegal maka sering dilakukan secara sembunyi–sembunyi dan karenanya dalam banyak kasus jauh dari jaminan kesehatan (unsafe).
Kehamilan sebelum pernikahan dan aborsi mengakibatkan stigma dan pengalaman yang terjadi pada wanita single. Keluarga berencana yang dilaksanakan pemerintah secara resmi tidak mengijinkan penyediaan contrasepsi untuk perempuan dan lelaki yang belum menikah dan juga akses terhadap pelayanan kesehatan reproduksi juga dibatasi. Perempuan yang mengalami Kehamilan Tidak Diinginkan akan menghadapai berbagai masalah antara lain : menghadapi rasa malu bagi individu dan keluarga, memungkinan “pernikahan kompromi“, ditinggalkan pasangan, single mother, stigma pada anak, pemutusan secara dini dari sekolah., pemutusan pemasukan dan pekerjaan (Bennet, 2001).
Penelitian yang dilakukan di Maryland menunjukkan bahwa kebanyakan kehamilan yang tidak diinginkan mendapatkan perlakuan yang tidak sehat dari orang tuanya, dapat dilihat di table bahwa hanya 14% KTD yang mendapat asupan multivitamin setiap hari, dan KTD juga didapatkan mendapatkan perawatan yang paling rendah baik pada saat pelayanan tri semester pertama maupun pemberian ASI dibandingkan dengan kehamilan yang diinginkan. Hal ini sangat perlu diperhatikan karena dengan perawatan yang kurang baik selama kehamilan ditakutkan mengakibatkan resiko pada bayi saat lahir.
Dari penelitian juga didapatkan bahwa pada Kehamilan Tidak Diinginkan ibu dari bayi tersebut banyak melakukan tindakan beresiko seperti merokok selama kehamilan (24%), merokok saat masa postpartum (30%), dan depresi saat postpartum (27%), dan Kekerasan fisik terhadap banyinya dan dirinya (11%). Dari data diatas dapat dilihat bahwa KTD banyak sekali terpapar resiko yang dapat mengakibatkan resiko kesakitan dan kecacatan pada bayi. Juga didapatkan bahwa bayi yang dilahirkan dari Kehamilan Yang tidak Diinginkan di Maryland pada tahun 2001–2005 sebanyak 10% mengalami BBLR (Berat Badan Bayi Lahir Rendah ) < 2500 gram.
Tindakan Remaja Ketika Mengalami KTD
Banyak sekali remaja yang mengalami Kehamilan Tidak Diinginkan (KTD) menangani masalah mereka sendiri secara diam – diam tanpa bantuan medis maupun tanpa sepengetahuan orang tua mereka. Hal ini terjadi karena banyak hal antara lain hukuman dari orang tua dan masyarakat sekitar lebih menakutkan mereka daripada kekhawatiran terhadap tubuhnya sehingga banyak dari mereka yang mengalami KTD memilih mengakhiri kehamilannya karena takut hukuman dari orang tua dan masyarakat. Selain itu tindakan yang mereka lakukan mereka anggap aman karena mereka mendapatkan informasi tersebut kurang akurat (Zaenal, 2006).
Karena alasan itu pula orang pertama yang diberi tahu akan kehamilannya bukanlah orang tua remaja putrid tetapi pacarnya. Mereka berharap sang pacar bertanggung jawab atau ikut mencarikan solusi akan kehamilannya. Orang lain yang diberi tahu selain sang pacar biasanya adalah sahabat terdekat.
Perempuan muda yang belum menikah hanya dapat melanjutkan kehamilannya yang tidak diinginkan secara sah dengan melaksanakan pernikahan, mereka terpaksa melakukan aborsi untuk menghindari bahaya bagi masa depan mereka yang dikarenakan tidak terlaksananya pernikahan (Bennet, 2001).
Kehamilan yang tidak diinginkan akan mendorong ibu untuk melakukan tindakan pengguguran (aborsi). Data WHO, setiap tahun 15 juta remaja mengalami kehamilan dimana 60%-nya berupaya mengakhirinya. Tetapi ketika mengambil keputusan untuk mengakhiri kehamilan di dalam lingkungan dimana pengguguran masih dilarang atau sukar didapat, akan mendorong mereka melakukan unsafe abortion.
Salah satu masalah yang harus kita hadapi bersama adalah tingginya angka aborsi di kalangan remaja. Tingkat aborsi di Indonesia dalam setahunnya mencapai 2,3 juta dengan rincian 1 juta merupakan aborsi spontan, 0,6 juta karena kegagalan KB dan 0,7 juta karena tidak pakai KB. Dari jumlah tersebut lebih dari 50% merupakan abortus unsafe. Dengan melihat angka tersebut diperkirakan banyak sekali aborsi yang dilakukan oleh bukan pasangan suami isteri termasuk remaja yang belum menikah.
Reaksi awal remaja pada umumnya adalah keinginan dan usaha untuk aborsi. Usaha aborsi awal itu menggunakan cara–cara yang bervariasi, mulai dari self- treatment sampai meminta bantuan tenaga medis.
Sebagian remaja ingin mengakhiri kehamilan yang tidak diinginkan dengan cara–cara yang tidak aman malah berbahaya bagi kesehatannya sendiri, misalnya :
A. Meminum ramuan atau jamu baik yang dibuat sendiri maupun yang dibeli ( minum jamu – jamu tradisional pelancar haid yang dijual bebas di pasaran umum dengan dosis tinggi; dengan meminum ramuan tradisional yang diracik sendiri seperti ragi tape dan air perasan buah nanas muda, Cytotec produksi Searle Pfizer ( generic : misosprostol )- obat maag ).
B. Memijat peranakannya atau mencoba mengeluarkan janin dengan alat – alat yang membahayakan dengan bantuan dukun pijat atau tukang urut tradisional.
C. Meminum obat – obatan medis yang diberikan oleh dokter atau bidan atau sepengetahuan mereka dari informasi yang didapatkan dari sumber yang tidak bertanggung jawab.
Cara – cara tersebut di atas sangat membahayakan bagi kesehatan perempuan yang mengalami KTD karena tindakan tersebut bisa mengakibatkan perdarahan, infeksi hingga kematian si calon ibu. Jika dengan cara – cara tersebut kehamilan tidak berhasil diakhiri kemungkinan janin mengalami kecacatan mental maupun fisik dalam masa pertumbuhannya.
Meskipun mereka sadar bahwa aborsi adalah tindakan yang berdosa, kebanyakan remaja perempuan memilih melakukannya jika pihak lelaki yang menghamilinya menolak tanggung jawabnya untuk menikahi wanita tersebut, mereka sering berpendapat rasa malu pada mereka dan keluarga, mempunyai anak tanpa perkawinan, membesarkan anak tanpa bapak lebih berdosa daripada aborsi (Bennet, 2001).
Usaha – usaha self- treatment, kebanyakan tidak membuahkan hasil, justru menciptakan masa menunda yang lama sebelum mereka akhirnya mencoba mendatangi klinik kebidanan atau dokter kandungan. Ketika mereka datang ke klinik kebidanan atau dokter kandungan, usia kandungan mereka sudah cukup tinggi akibatnya mereka ditolak karena resiko medis tinggi. Tenaga medis tidak mau mengambil resiko melakukan aborsi kecuali atas indikasi medis.
Tidak semua remaja mencoba pergi ke dukun. Mereka takut membayangkan hal – hal negatif akibat layanan yang tidak higienis dan tidak professional menimpa mereka. Mereka mencoba usaha – usaha self- treatment karena percaya pada cerita atau pengalaman orang lain ( biasanya teman / sahabat mereka ) dan mempercayai bahwa usaha – usaha itu akan berhasil menggugurkan kandungan mereka.
Konsekuensi lain adalah bahwa kehamilan tak diinginkan mengakibatkan anak yang dilahirkan tidak bisa tumbuh kembang optimal, sinyalemen Ninuk Widyantoro, psikolog YKP. Faktor penyebabnya adalah jelas karena sang anak merasa tertolak secara kejiwaan tentunya disamping akibat upaya – upaya penghentian KTD. Dengan demikian maka perempuan dengan KTD perlu diberi konseling (Utomo, 2001).
Problem Konseptual : Ambivalensi dan Makna pada Individu Wanita
Ambivalensi tentang arti konsepsi dan kontrasepsi merupakan masalah dalam memahami niat kehamilan dan kontrasepsi yang digunakan. Niat kehamilan melibatkan factor emosi dan psikologi. Motivasi untuk mengajak hubungan seksual berbeda dengan motivasi untuk melahirkan anak, dan hal ini mungkin muncul setelah kehamilan terjadi. Bachrach dan Newcomer menyatakan bahwa niat dan kehamilan yang tidak dikehendaki dipertimbangkan sebagai dua rangkaian yang berakhir dalam dikotomi sederhana. Stanford menyatakan bahwa rangkaian itu meliputi demensi affektif (keinginan untuk memiliki anak, berhubungan dengan nilai dalam masyarakat, pasangan dan personal tentang melahirkan ) dan demensi perencanaan (focus pada persiapan kehamilan, tujuan hidup, dan pendidikan).
Perasaan wanita tentang kehailan dan keputusan tentang kehamilan terbentuk oleh perubahan dalam berhubungan dengan pasangan, kondisi medis dan kejiwaan, tekanan dari anggota keluarga.
Perspektif Seksualitas dan Budaya
Penelitian antropologi reproduksi mencatat hubungan yang komplek mencakup kejadian kehamilan. Berkaitan dengan niat, harus menguji ketidaksetaraan gender dan kontruksi budaya tentang hubungan dan seksualitas membentuk hubungan wanita dengan pasangannya. Selain itu juga berfokus pada hubungan wanita dengan keluarga, teman sebaya, dan layanan kesehatan. Jadi kehamilan selain sebagai produk niat individu dan pengaruh social ekonomi.
Niat kehamilan diterjemahkan dalam keterbatasan akses terhadap sumber atau layanan kesehatan, atau keterbatasan kontrak terhadap tubuh perempuan. Adanya ketidaksetaraan jender seringkali wanita tidak dapat mengontrol bahkan pada keadaan intercourse, setidaknya keputusan untuk melahirkan anak. Sikap dan perilaku pasangan pria dapat mempengaruhi niat wanita, perilaku seksual, penggunaan kontrasepsi dan menjadi orang tua dari perkawinan.
Kehamilan juga terkait dengan ketersediaan dan kesiapan metode pencegahan kehamilan, permulaan seksual yang lebih awal, dan perubahan pasangan seksual selama reproduksi wanita.
Pencegahan KTD
Mengkaji ulang dan membuka peluang perubahan aturan, hukum dan perundangan; seperti Undang-Undang nomor 1 tahun 1974 yang memberikan celah bagi terjadinya pernikahan dini, dan Undang-undang nomor 20 tahun 1992 yang mengganjal layanan kesehatan reproduksi untuk remaja putri yang belum menikah, serta seluruh aturan dan kebijakan yang dibuat berlandaskan undang-undang tersebut.
Mengembangkan kebijakan dan program berdasar paradigma baru yang lebih peka gender dan "ramah" pada remaja dengan menempatkan remaja sebagai subjek aktif yang patut didengar, dilibatkan, dan dengan demikian turut bertanggung jawab atas kepentingan mereka sendiri.
Pendidikan kesehatan reproduksi remaja, termasuk di dalamnya informasi tentang keluarga berencana dan hubungan antargender, diberikan tak hanya untuk remaja melalui sekolah dan media lain, tetapi juga untuk keluarga dan masyarakat.. Rumusan baru 'kejantanan' yang lebih menekankan tanggung jawab dan saling menghormati dalam relasi antargender perlu pula dipopulerkan di antara remaja putra. Program pelayanan kesehatan reproduksi remaja harus mulai dipikirkan, dengan penyedia layanan yang 'ramah remaja': menjaga kerahasiaan, tidak menghakimi, peka pada persoalan remaja.
Meneruskan upaya meretas hambatan sosial budaya dan agama dalam persoalan reproduksi dan seksualitas remaja, melibatkan kelompok masyarakat yang lebih luas, seperti ulama-rohaniwan, petinggi adat untuk menilai, merencanakan dan melaksanakan program yang paling tepat untuk kesehatan reproduksi remaja, termasuk juga mendorong keterbukaan dan komunikasi dalam keluarga.
Apa pun yang dirancang dengan baik takkan berjalan sempurna tanpa kerja yang sungguh-sungguh untuk mendengar remaja kita, berupaya memenuhi kebutuhan psikologisnya, memuaskan rasa ingin tahunya, sembari mengajari mereka menjalani kehidupan dengan bertanggung jawab.
Pada remaja KTD dapat menjadi sesuatu yang sangat memalukan dan dapat merusak masa depan mereka, oleh karena itu alangkah baiknya bila kita dapat mencegah hal tersebut sebelum terjadi, Kehamilan Tidak Diinginkan dapat dicegah dengan :
A. Tidak melakukan hubungan seks sebelum menikah.
B. Memanfaatkan waktu luang dengan melakukan kegiatan positif seperti olahraga seni dan keagamaan.
C. Hindari perbuatan yang akan menimbulkan dorongan seksual, seperti meraba tubuh pasangan atau menonton video porno.
D. Memperoleh informasi tentang manfaat dan penggunaan alat–alat kontrasepsi.
E. Mendapatkan keterangan tentang kegagalan alat kontrasepsi dan cara penanggulangannya.
F. Untuk pasangan yang sudah menikah seyogyanya memakai cara KB untuk kegagalan yang rendah seperti sterilisasi, susuk KB, IUD dan suntikan (Depkes, 2003).
Penanggulangan Kasus Kehamilan Pada Remaja
Memang kita tidak pernah menginginkan Kehamilan Tidak Diinginkan terjadi pada remaja karena akan menimbulkan banyak dampak, apalagi diperparah belum terbentuknya hubungan pernikahan pada remaja yang telah hamil. Apabila Kehamilan Tidak Diinginkan terlanjur terjadi pada remaja, maka ada beberapa hal yang bisa kita lakukan agar kehamilan yang terjadi tersebut tidak berbahaya dan dapat diselesaikan dengan baik. Beberapa hal yang dapat kita lakukan antara lain :
A.Bersikap bersahabat dengan remaja.
B.Memberikan konseling pada remaja.
C.Apabila ada masalah yang serius agar diberikan jalan keluar yang terbaik dan apabila belum bisa terselesaikan supaya dikonsultasikan ke SpOG, SpKK, psikolog, psikiater.
D.Memberikan alternatif penyelesaian yaitu : diselesaikan dengan kekeluargaan, segera menikah, konseling kehamilan dan persalinan, pemeriksaan kehamilan sesuai standart, bila ada gangguan kejiwaan rujuk ke psikiater, bila ada resiko tinggi kehamilan, rujuk ke SpOG.
Bila tidak terselesaikan dengan menikah, keluarga supaya menerima dengan sebaik – baiknya. Bila ingin menggugurkan, berikan konseling resiko pengguguran, dan persiapan mengikuti KB. Selain itu perlu membentuk jejaringan dengan yayasan yang direkomendasikan depsos untuk mengadopsi bayi dari hasil KTD (Depkes, 2003). Sebaiknya perlu dipikirkan bahwa remaja yang masih bersekolah tidak dikeluarkan dari sekolah atau diberikan cuti hamil (Tito, 2003).
0 komentar:
Posting Komentar