Langit Mimpi - Jurang Putus Asa



Langit Mimpi


Sepagi ini langit sudah mendung, sebentar lagi hujan akan turun. Namun berbanding terbalik dengan Ibu, raut wajahnya lebih cerah dari langit cerah sekalipun. Senyumnya, mengisyaratkan semangat juang yang tak semuda usianya.
“Ibu ,apa yang hendak Kau bangun dengan pasir, semen, dan bata-bata itu?”, tanyaku polos. Namun Ibu tak segera menjawab. Ia masih asyik menyusun batu demi batu diatas adonan semen dan pasir.
“Lalu, untuk apa batu-batu besar itu, bu?, tanyaku lagi. Sepertinya butuh konsentrasi penuh dalam menyusun bebatuan itu, hingga Ibu tak kunjung menjawab pertanyaanku. Setelah meletakan batu yang sangat besar itu dan menghela nafas, Ibu menjawab “Ibu ingin membangunkanmu sebuah tangga emnuju Langit Mimpi agar kelak dapat Kau naiki untuk meraih semua impianmu. Nah, bebatuan inilah yang akan menjadi pondasi yang kuat dan kokoh bagimu.”
Aku hanya mengangguk-angguk polos sambil mengingat-ingat cerita pengantar lelap ibu semalam. Ibu bercerita bahwa dibalik awan yang cerah dan terkadang mendung itu, ada sebuah tempat dimana Aku dapat memetik semua asa yang kuimpikan, Langit Mimpi namanya. Untuk alas an itulah Ibu bersusah payah membangunkanku tangga hari ini.
Tetes air langit mulai berjatuhan membasahi wajah letih ibu yang sebelumnya memang telah basah oleh peluh. Kilat dan petir pertama menggelegar, memecah kesunyian pagi yang hanya berhiaskan irama musik ritmis bentur bebatuan dan hembusan nafas wanita yang mengangkat dan menjatuhkannya, Ibuku. Dan hujan benar-benar turun. Kilat dan Petir silih berganti mengiringi. Namun gerak Ibu tak berubah sedikitpun, tetap gesit dan cekatan, seolah ingin berpacu dengan derasnya hujan, bahkan petir sekalipun.
“Anakku, pergi ! berteduhlah ! “ ,teriak Ibu. Aku berteduh untuk patuh, juga karena Aku takut pada petir-petir itu. Bagiku petir adalah makhluk besar yang begiru menakutkan. Dia mampu meretakkan langit, terkadang malah terdengar seperti memecahkannya. Dia pembunuh yang sangat lihai. Dalam sekelabatan kilat saja, Dia tega menghentikan usia seseorang, bahkan lebih. Dia jugalah yang akhirnya menghentikan perjuangan Ibu. Retakan langit yang menyilaukan itu bermuara di tubuh Ibu tepat setelah batu terakhir diletakan. Tngisku seketika pecah. Menghambur merengkuh raga Ibu yang telah tak bernyawa. Tak ada yang dapat kuperbuat selain menangis, berteriak, dan sesekali menghujat petir, yang tetap beraksi sakan tak puas hanya membunuh Ibu saja.
Sayup-sayup terdengar suara lelaki paruh baya dari arah ladang, meneriakan namaku. Ia lari tergopoh-gopoh dengan cangkul dipundaknya. Kemudian mendekat dan terkejut melihat apa yang terjadi. Begitu kecewanya lelaki itu hingga kedua lututnya jatuh diatas tanah. Sungguh dramatis jalan Tuhan menjadikan lelaki yang kupanggil Yah itu seorang duda. Tapi Aku tahu, ayah adalah seorang yang selalu menganggap lurus jalan Tuhan yang berlika liku.
***
Tanah pekuburan Ibu memang masih liat, namun pondasi yang Ia buat kini telah kering dan mengeras. Ayah bersumpah, bahwa pembangunan tangga ke Langit Mimpi yang Ibu rintis tak akan terhenti. Ayah akan bejuang sekuat yang Ia mampu.
Diatas pondasi yang kokoh ,Ayah menyusun bata-bata merah itu menjadi anak-anak tangga yang kelak akan kupijaki. Sesekali Ia juga menuangkan cor-coran jika memang itu perlu. Karena meskipun cor-coran hanya terbuat dari butiran semen yang halus, pasir yang sedikit kasar, dan kerikil yang kerdil, namun ketiganya akan saling mengikat kuat satu sam lain. Jauh lebih kuat dari orang yang menuangkannya.
“Ayah bolehkah Aku membantumu?”, tanyaku tak tega melihat Ayah begitu lelah.
“Tak usah. Belum saatnya Kau turun tangan.”, jawab Ayah enteng. “Suatu hari nanti, akan ada saatnya Kau berjuang menyelesai kan tangga ini seorang diri. Karena perlu Kau tahu, sekuat apapun ayah, ayah tak akan mampu merampungkan tangga ini. Kaulah yang terlebih dulu harus mencapai langit mimpi itu. “, Ayah menambahkan.
“Lalu kapan waktunya tiba bagiku?”
“Sesaat setelah jantung ayah berhenti berdetak.” ,jawab Ayah lugas. Mendengarnya Aku hanya diam terpaku. Berharap hal itu tak benar-benar terjadi.
***
Ada sesosok lelaki dengan bakal jambang, kumis tipis, rahang kokoh dan senyum penuh optimisme ketika Aku bercermin. 17 tahun sudah Aku mencicipi kehidupan. Aku belum pernah benar- benar memakanya untuk memaknainya. Tak seperti Ayah. Masa senjanya sama sekali tak berbeda dengan ketika baru beberapa tahun menjadi ayahku. Setiap harinya Ia persembahkan untukku. Bahkan detik inipun Ia masih menyibukan diri dengan tangga menuju Langit Mimpi-ku.
“Ayah … turunlah sejenak. Makan siang kita siap !” teriakku memanggil ayah yang berada di anak tangga ke entah puluh ribu sekian. “ akan lebih baik jika aku yang membawakan makanannya keatas.’, pikirku berubah. Butuh stamina dan waktu yang tak sedikit untuk mencapai anak tangga terakhir yang Ayah buat. Dan betapa terkejutnya aku, ketika melihat Ayah jatuh tersungkur memegangi dadanya.
“Ayah !!!”
“Nak, mungkin inilah saatnya tiba bagimu untuk merampungkan tangga ini.”
“Tidak! Ayah jangan berkata seperti itu. Bertahanlah untukku.”
Ayah hanya diam, memejamkan mata sembari menarik dan menghembuskan nafas pelan, semakin pelan, pelan sekali, hingga benar-benar tak terdengar lagi.
***
Ayah dan Ibu telah kembali berdampingan. Meskipun itu pekuburan mereka. Tak ada yang harus kutangisi. Dibawah tanah yang kupijak, ada pondasi kokoh buatan Ibu yang menopang puluhan ribu anak tangga buatan Ayah. Aku harus memastikan bahwa jerih payah Ayah dan Ibu tak sia-sia. Rasa malas duniawi yang katanya manusiawi itu harus kusampahkan. Semoga tekad dan semangat Orang tuaku benar-benar mendarah daging dalam tubuhku.
Dengan semangat mudaku, kurampungkan apa yang belum sempat ayah rampungkan. Langit Mimpi semakin dekat. Sekitar 100 anak tangga lagi untukku bias mencapainya. Hari hariku berjalan penuh optimisme, hingga anak tangga terakhir, tepat dibawah pintu Langit Mimpi berhasil kubuat. Sungguh tak dapat dipercaya, tapi ini harus kupercaya. Tangga yang berpuluh-puluh tahun Ibu rintis, ayah perjuangkan , dan Kuusahakan kini telah benar-benar mengantarkanku ke Langit Mimpi. Dan selama itulah Aku dapat memaknai apa yang harus kumaknai. Dan di Langit Mimpi ini, selain meraih semua asa yang seumur hidup kuimpikan, Aku juga ingin memaknai sesuatu yang akan membuat hidupku lebih bermakna.

Epilog
“Dan Lifetime Achievement Award ini diberikan kepada…….Agus Saifudin”, suara seorang model cantik kenamaan mengumumkan Lifetime Achievement Award dalam sebuah acara Bussiness Award terkemuka. Dengan suka cita Agus Saifudin menerima penghargaan tersebut. Senyum optimisme selalu dan selalu Ia suguhkan. Hidupnya hampir bisa dikatakan sempurna. Perusahaan mulit bisnis yang Ia kelola semakin berkembang pesat. Siapa yang tak bangga dengan pencapaian setinggi itu. Di Rumah, Isteri dan kedua anaknya juga menunggu dengan bangga. Sakinah, mawahdah, dan warrahmah benar-benar terwujud dalam kehidupan keluarganya. Hanya satu hal yang Ia sedihkan , Ayah dan Ibunya telah dipanggil Tuhan semenjak Ia masih muda, sehingga tak dapat mendampinginya di pencapaian hidup paling membanggakan ini.
Desember 2011



Jurang Putus Asa

 “Apa yang membuatmu berhenti berharap? “ tanya seorang Gadis kepada kekasihnya dalam sebuah obrolan yang dingin dibawah temaram rembulan yang membawa kehangatan. Namun ,hening yang menjawab pertanyaan itu. Keheningan benar-benar hadir menghiasi kegentingan hati lelaki yang tak genting dimata kekasihnya. Bahkan angin malampun tak berhembus untuk sekedar mengusik dedaunan yang juga terbelenggu dalam diam.
Padahal siapa yang tahu kalau dwtik itu juga ada pertentangan hebat yang sedang berlangsung. Otak dan hati Si Lelaki sedang tak sejalan. Mungkin itu pula yang menbuat lidahnya tetap kelu.
Si Gadis meraih tangan kekasihnya untuk menggenggamnya kuat- kuat. Dalam genangan air mata yang belum sempat menetes itu, Si Gadis menatap sepasang mata mendung kekasihnya dengan penuh harapan.
“Katakanlah sesuatu !”, mata Si Gadis seolah mengatakan
“Aku ...-, Aku hanya tak ingin, -...”, jawab Si Lelaki penuh keraguan. “Ini kenyataan yan harus kita terima. Aku tak bisa berbuat sementar seisi dunia menentangku..”,jawab Si Lelaki beralasan.
“Tapi Tuhan dan Aku akan selalu ada untukmu !”
“Apa Kau yakin,Tuhan mengijinkanku membawa lari seorang anak gadis dari orang tuanya? Sementara kita tahu dan Tuhan pasti tahu bahwa Orang tuamu tak sedikitpun memberi restu?”
“Tapi Tuhan maha tahu alasan kita melakukan hal semacam ini.”
“Dam Tuhan uga sangat membenci seorang anak yang menentang orang tuanya. Aku tak ingin Ibu,orang tuaku satu-satunya di dunia ini,menyebutku sebagai anak durhaka.”
“Tapi percayalah Tuhan maha adil , alasan orang tua kita tak memberi restu belum tentu searah dengan jalan-Nya.”
“Apapun itu, alasan Ibuku terlalu benar dan nyata untukku bisa menentangnya! Sekat langit dan bumi pun terlalu dekat jika dibandingakan dengan perbedaan antara kita. Seorang putra bangsawan pastilah berjodoh dengan putri saudagar kaya, Putra Presiden detidaknya jatuh ke pelukan Putri Menteri, dan jodoh bagi supir pribadi sepertiku pastilah tak jauh dari pembantu rumah tangga, babby sister, tukang cuci atau sejenisnya, bukan Putri Wakil Rakyat seprtimu !”
'Tapi Aku tak pernah sedikitpum memandang dirimu rendah.”
“Tapi Ayah dan Ibumu? Aku mencintaimu, sungguh mencintaimu.Percayalah ,hukum kenyataan terlalu kuat untuk kita langgar. Bahkan Romeo dan Julietpun tak sanggup terus hidup dalam cinta yang tak direstui. Siapa yang tahu kalau mereka sekarang hidup bahagia atau tidak, di neraka atau di surga.“
“Aku tak ingin melakukan hal semacam itu. Tapi kalau memang itulah jalan satu-satunya ,bukan tak mungkin akan Kulakukan.”
“Jangan berucap seperti itu!”,kata Si Lelaki melarag. Ia menarik Si Gadis kedalam pelukannya dan seketika dadanya basah oleh linang air mata kekasihnya. Di Gadis tak henti-hentinya menangis sambil terus memeluk tubuh kekaihnya erat-erat.
“Ku mohon perjuangkan cinta kita,jika memang Kau benar benar mencintaiku maka bawalah Aku lari bersamamu malam ini juga! Selalu ada harapan yang terkabul. Berharaplah kita akan bahagia setelah pelarian ini.”, pinta Si Gadis tersedu-sedu.
“Maaf Aku tak bisa.”, jawab Si Lelaki singkat sambil berusaha melepas pelukanya.
“Apa Kau tak memiliki bayangan indah sedikitpin jika Kau berhasil memilikiku?”,tanya Si Gadis penuh harapan.
“Bukan seperti itu. Tapi... ini terlalu rumit untuk....ah!”, jawab Si Lelaki tak rampung karena terus dibayang-bayangi keraguan.
“Aku tak percaya Kau mundur sebelum berjuang ! Jika kau seperti itu maka tak ada gunanya lagi Aku hidup !”


Hati Si Gadis hancur berkeping-keping. Ia lari meninggalkan kekasihnya dalam tangis penuh kekecewaan. Si Lelaki hanya dian termenung menyesali keputusanya. Matanya terus mengikuti kemana Si Gadis lari. Dan astaga! Si Gadis lari ke arah Jurang. Tanpa membuang -buang waktu Si Lelaki mengejar kekasihnya,berharap hal buruk itu tak benar-benar terjadi.
Namun tanpa terduga sebelumnya, seorang lelaki tampak menghadang Si Gadis dan menarik lengannya secara kasar. Lelaki itu adalah calon suami pilihan Ayah Si Gadis yang sedari tadi mencarinya. Si Gadis lari meninggalkan rumah pada malam pernikahannya. Besok Ia akan resmi dipersunting lelaki itu. Si Gadis sejenak bingung, Ia ingin lari dari calon suaminya dan kenbali ke pelukan kekasihnya. Tapi mana mungkin ? Sementara kekasihnya berdiri terpaku dalam jarak. Pun dengan raut wajah yang tak kalah bingung. Si Gadis tak dapat berbuat apa-apa, ketika calon suaminya memaksanya pulang, Ia hanya bisa menangis,terus menangis dan tak sedikitpun melepaskan pandangan dari kekasih yang hanya diam, terus diam. Si lelaki memang hanya diam, Ia tak tahu apa yang harus diperbuat. Ia hanya terus menyesali senyum menjijikan penuh kemenangan yang disunggingkan calon suami kekasihnya.

***

Di bibir jurang mengerikan yang sesungguhnya indah itu, Si Lelaki duduk bertemankan angin, merenungi nasib dan kenyataan yang harus ia mengerti. Namun hatinya tak cukup besar untuk mengertikan keadaan yang sekarang ada. Ia membayangkan, saat ini kekasihnya pasti sudah menhadi istri orang. Lalu mengapa kini Ia tak dapat menerima kemungkinan dan alasan-alasan yang membuat kekasihnya menangis semalam. Sungguh Ia tak dapat bermunafikria seperti yang Ia lakukan semalam. Bahkan sempat terbersit keberpihakan pada keputusan terakhir Romeo dan Juliet yang Ia tentang semalam. Semalam....semalam......dan semalam.
Benang kusut yang ada yang ada dibenaknya senakin sukar untuk diluruskan. Dan entah karena apa ( mungkin untuk menghibur diri ) Ia tersenyum mengingat jurang yang ada dihadapannya belum tersohor karena tak memiliki nama. Lalu Ia berpikir, mengapa tidak ia saja yang memberinya nama. Nama nama yang tak layak dijadikan nama justru muncul dalam benaknya. Dan setelah menemukan nama yang tepat, Ia bangun dari duduknya, melongok dasar jurang yang hanya bebatuan dan aliran sungai kecil yang dangkal, serta terus merasakan sakitnya gejolak kekecewaan yang berkecamuk untuk kemudian menitikkan air mata. Dalam hati Ia berkata, “ Sungguh pantas Kau Kuberi nama... Jurang Putus Asa.....”
Setelah itu....Tubuh Si Lelaki menyatu dengan dasar jurang.





0 komentar:

Posting Komentar